Sabtu, 17 Desember 2011

Leletup

Leletup

Cabe & Tomat

Bahan Sambal

Jagung

Jagung Rebus

Pengertian Pertanian

Pengertian Pertanian
Pertanian adalah kegiatan pemanfaatan sumber daya hayati yang dilakukan manusia untuk menghasilkan bahan pangan, bahan baku industri, atau sumber energi, serta untuk mengelola lingkungan hidupnya. Kegiatan pemanfaatan sumber daya hayati yang termasuk dalam pertanian biasa difahami orang sebagai budidaya tanaman atau bercocok tanam (bahasa Inggris: crop cultivation) serta pembesaran hewan ternak (raising), meskipun cakupannya dapat pula berupa pemanfaatan mikroorganisme dan bioenzim dalam pengolahan produk lanjutan, seperti pembuatan keju dan tempe, atau sekedar ekstraksi semata, seperti penangkapan ikan atau eksploitasi hutan.
Bagian terbesar penduduk dunia bermata pencaharian dalam bidang-bidang di lingkup pertanian, namun pertanian hanya menyumbang 4% dari PDB dunia. Sejarah Indonesia sejak masa kolonial sampai sekarang tidak dapat dipisahkan dari sektor pertanian dan perkebunan, karena sektor - sektor ini memiliki arti yang sangat penting dalam menentukan pembentukan berbagai realitas ekonomi dan sosial masyarakat di berbagai wilayah Indonesia. Berdasarkan data BPS tahun 2002, bidang pertanian di Indonesia menyediakan lapangan kerja bagi sekitar 44,3% penduduk meskipun hanya menyumbang sekitar 17,3% dari total pendapatan domestik bruto.
Kelompok ilmu-ilmu pertanian mengkaji pertanian dengan dukungan ilmu-ilmu pendukungnya. Inti dari ilmu-ilmu pertanian adalah biologi dan ekonomi. Karena pertanian selalu terikat dengan ruang dan waktu, ilmu-ilmu pendukung, seperti ilmu tanah, meteorologi, permesinan pertanian, biokimia, dan statistika, juga dipelajari dalam pertanian. Usaha tani (farming) adalah bagian inti dari pertanian karena menyangkut sekumpulan kegiatan yang dilakukan dalam budidaya. Petani adalah sebutan bagi mereka yang menyelenggarakan usaha tani, sebagai contoh "petani tembakau" atau "petani ikan". Pelaku budidaya hewan ternak (livestock) secara khusus disebut sebagai peternak.

Cakupan Pertanian
Pertanian dalam pengertian yang luas mencakup semua kegiatan yang melibatkan pemanfaatan makhluk hidup (termasuk tanaman, hewan, dan mikrobia) untuk kepentingan manusia. Dalam arti sempit, pertanian juga diartikan sebagai kegiatan pemanfaatan sebidang lahan untuk membudidayakan jenis tanaman tertentu, terutama yang bersifat semusim.
Usaha pertanian diberi nama khusus untuk subjek usaha tani tertentu. Kehutanan adalah usaha tani dengan subjek tumbuhan (biasanya pohon) dan diusahakan pada lahan yang setengah liar atau liar (hutan). Peternakan menggunakan subjek hewan darat kering (khususnya semua vertebrata kecuali ikan dan amfibia) atau serangga (misalnya lebah). Perikanan memiliki subjek hewan perairan (termasuk amfibia dan semua non-vertebrata air). Suatu usaha pertanian dapat melibatkan berbagai subjek ini bersama-sama dengan alasan efisiensi dan peningkatan keuntungan. Pertimbangan akan kelestarian lingkungan mengakibatkan aspek-aspek konservasi sumber daya alam juga menjadi bagian dalam usaha pertanian.
Semua usaha pertanian pada dasarnya adalah kegiatan ekonomi sehingga memerlukan dasar-dasar pengetahuan yang sama akan pengelolaan tempat usaha, pemilihan benih/bibit, metode budidaya, pengumpulan hasil, distribusi produk, pengolahan dan pengemasan produk, dan pemasaran. Apabila seorang petani memandang semua aspek ini dengan pertimbangan efisiensi untuk mencapai keuntungan maksimal maka ia melakukan pertanian intensif (intensive farming). Usaha pertanian yang dipandang dengan cara ini dikenal sebagai agribisnis. Program dan kebijakan yang mengarahkan usaha pertanian ke cara pandang demikian dikenal sebagai intensifikasi. Karena pertanian industrial selalu menerapkan pertanian intensif, keduanya sering kali disamakan.
Sisi pertanian industrial yang memperhatikan lingkungannya adalah pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture). Pertanian berkelanjutan, dikenal juga dengan variasinya seperti pertanian organik atau permakultur, memasukkan aspek kelestarian daya dukung lahan maupun lingkungan dan pengetahuan lokal sebagai faktor penting dalam perhitungan efisiensinya. Akibatnya, pertanian berkelanjutan biasanya memberikan hasil yang lebih rendah daripada pertanian industrial.
Pertanian modern masa kini biasanya menerapkan sebagian komponen dari kedua kutub "ideologi" pertanian yang disebutkan di atas. Selain keduanya, dikenal pula bentuk pertanian ekstensif (pertanian masukan rendah) yang dalam bentuk paling ekstrem dan tradisional akan berbentuk pertanian subsisten, yaitu hanya dilakukan tanpa motif bisnis dan semata hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri atau komunitasnya.
Sebagai suatu usaha, pertanian memiliki dua ciri penting: selalu melibatkan barang dalam volume besar dan proses produksi memiliki risiko yang relatif tinggi. Dua ciri khas ini muncul karena pertanian melibatkan makhluk hidup dalam satu atau beberapa tahapnya dan memerlukan ruang untuk kegiatan itu serta jangka waktu tertentu dalam proses produksi. Beberapa bentuk pertanian modern (misalnya budidaya alga, hidroponika) telah dapat mengurangi ciri-ciri ini tetapi sebagian besar usaha pertanian dunia masih tetap demikian.

Dari Wikipedia Bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Berkebun

Kebun Kacang Tanah

Jumat, 16 Desember 2011

Mengkudu

Mengkudu

Gambas

Gambas

Pemberdayaan Masyarakat

”PEMBERDAYAAN MASYARAKAT”
Antara Korupsi, Good Governance Dan Akuntabilitas



Oleh: Atanasius


Pendahuluan

Semenjak tahun 1998 Indonesia mengalami krisis multidimensi, namun yang sangat dirasakan oleh masyarakat kecil adalah krisis keuangan. Bergaungnya gong otonomi daerah dengan UU No. 32/2004 tentang pemerintahan daerah memberikan angin segar kepada daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya sendiri, menurut prakarsa dan aspirasi masyarakatnya. Tumbuhnya perhatian terhadap desentralisasi merupakan reaksi atas gagalnya pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru yang sentralistik (Chalid. P, 2007:9.11). Desentralisasi merupakan penyerahan wewenang pemerintah oleh pemerintah kepada daerah otonom dalam kerangka Negara kesatuan Repoblik Indonesia (PP No. 84/2000). Otonomi daerah adalah wacana yang hangat dibicarakan dan diperdebatkan karena menyangkut bagaimana upaya Negara untuk mensejahterakan rakyatnya.
Otonomi daerah membuka kesempatan yang seluas-luasnya bagi daerah untuk mengaktualisasikan segala potensi secara optimal. Otonomi daerah merupakan system yang memungkinkan daerah untuk memiliki kemampuan mengoptimalisasi potensi terbaik yang dimilikinya dan mendorong daerah untuk berkembang sesuai dengan karakteristik ekonomi, geografis dan sosial budayanya (Chalid, 2007:9.4-9.5).
Menurut Mardiasmo (2002) bahwa krisis multidimensional yang tengah melanda bangsa Indonesia telah menyadarkan kepada kita semua akan pentingnya menggagas kembali konsep otonomi daerah dalam arti yang sebenarnya. Gagasan penataan kembali sistem otonomi daerah bertolak dari pemikiran untuk menjamin terjadinya efisiensi, efektivitas, transparansi, akuntabilitas, dan demokratisasi nilai-nilai kerakyatan dalam praktik penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
Kewenangan yang selama ini diberikan kepada daerah tidak disertai dengan pemberian infrastruktur yang memadai, penyiapan sumber daya manusia yang profesional, dan pembiayaan yang adil. Akibatnya, yang terjadi bukannya tercipta kemandirian daerah, tetapi justru ketergantungan daerah terhadap Pemerintah Pusat. Pemerintah Pusat melakukan campur tangan terhadap daerah dengan alasan untuk menjamin stabilitas nasional dan masih lemahnya sumber daya manusia yang ada di daerah. Karena dua alasan tersebut, sentralisasi otoritas dipandang sebagai prasyarat untuk menciptakan persatuan dan kesatuan nasional serta mendorong pertumbuhan ekonomi.
Lebih lanjut Mardiasmo (2002) mengutarakan bahwa Era reformasi saat ini memberikan peluang bagi perubahan paradigma pembangunan nasional dari paradigma pertumbuhan menuju paradigma pemerataan pembangunan secara lebih adil dan berimbang. Saat sekarang daerah sudah diberi kewenangan penuh untuk merencanakan, melaksanakan, mengawasi, mengendalikan dan mengevaluasi kebijakan-kebijakan daerah. Dengan semakin besarnya partisipasi masyarakat ini, desentralisasi kemudian akan mempengaruhi komponen kualitas pemerintahan lainnya. Salah satunya berkaitan dengan pergeseran orientasi pemerintah, dari command and control menjadi berorientasi pada tuntutan dan kebutuhan publik.
Tulisan ini ingin melihat sejauh mana keberadaan dan  kelangsungan pemerintah daerah yang bertanggung jawab terhadap pelayanan publik pemberdayaan masyarakat.

Perencanaan Yang Partisipatif
Untuk mensukseskan otonomi daerah dengan pemerintahan yang baik dan sepenuhnya dapat mempertanggungjawabkan segala kegiatan pembangunan di daerah bukanlah perkara yang mudah seperti membalikan telapak tangan. Masih perlu proses dan waktu karena berbagai kendala seperti geografis, infrastruktur, social dan budaya daerah. Oleh sebab itu masih diperlukan perencanaan yang matang, pelaksanaan berdasarkan partisipatif dan adanya evaluasi untuk mengukur keberhasilan dan kegagalan otonomi daerah.
Mardiasmo (2002) menjelaskan bahwa aspek perencanaan memiliki peranan yang penting bagi suatu daerah. Aktivitas pemerintah akan terlaksana dengan lebih baik jika seluruh tahapan proses perencanaan dilaksanakan secara konsekuen. Perencanaan strategik mendorong pemikiran ke depan dan menjelaskan arah yang dikehendaki di masa yang akan datang. Perencanaan strategik memiliki peranan yang penting bagi pemerintah daerah, karena di sanalah terlihat dengan jelas peranan Kepala Daerah dalam mengkoordinasikan semua unit kerjanya. Bagi kebanyakan pemerintah daerah, perencanaan strategik akan membantu dalam menentukan arah masa depan daerahnya, baik tingkat kecamatan maupun desa.
Arah masa depan yang baik ditentukan oleh proses penyusunan, pengesahan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban anggaran. UU No. 5 /1974, proses penyusunan, mekanisme pelaksanaan dan pertanggungjawaban anggaran daerah berbeda dengan UU No. 32 / 2004 bahwa tidak diperlukan lagi pengesahan dari Menteri Dalam Negeri untuk APBD Propinsi dan pengesahan Gubernur untuk APBD Kabupaten/Kota, melainkan cukup pengesahan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) melalui Peraturan Daerah.
Menururt Mardiasmo (2002) bahwa reformasi sektor publik yang salah satunya ditandai dengan munculnya era New Public Management telah mendorong usaha untuk mengembangkan pendekatan yang lebih sistematis dalam perencanaan anggaran sektor publik. Seiring dengan perkembangan tersebut, muncul beberapa teknik penganggaran sektor publik, misalnya adalah teknik anggaran kinerja (performance budgeting), Zero Based Budgeting (ZBB), dan Planning, Programming, and Budgeting System (PPBS).
Banyaknya kegiatan dengan menggunakan anggaran yang disusun, dilaksanakan dan dipertanggungjawabkan mengingatkan pada pemerintah daerah untuk bekerja lebih focus bagi kepentingan publik.  Mardiasmo (2002) menjelaskan bahwa indikasi keberhasilan otonomi daerah dan desentralisasi adalah terjadinya peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat (social welfare) yang semakin baik, kehidupan demokrasi yang semakin maju, keadilan, pemerataan, serta adanya hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah.

Korupsi, Good Governance dan Akuntabilitas
Selain itu masih banyak lagi yang dapat dijadikan ukuran keberhasilan pemerintah daerah dalam melaksanakan tugas pemerintahan dalam pelayanan publik. Salah satunya adalah konsep good governance yang lahir sejalan dengan konsep-konsep terminology demokrasi, masyarakat sipil, partisipasi rakyat, hak asasi manusia dan pembangunan masyarakat secara berkelanjutan (Toha 2003:61, dalam Sundarso, 2007:9.8).
Menurut LAN (2000), governance merupakan proses penyelenggaraan kekuasaan Negara dalam melaksanakan penyediaan public good dan service. Di sebut governance (pemerintah atau keperintahan), sedangkan praktek terbaiknya disebut good governance (kepemerintahan yang baik). Good  dalam good governance  menurut LAN (2000) adalah nilai yang menjunjung tinggi keinginan atau kehendak rakyat dalam pencapaian tujuan nasional, kemandirian, pembangunan berkelanjutan dan keadilan social, serta aspek fungsional dari pemerintahan yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan tugasnya untuk mencapai tujuan.
Jantung good governance adalah akuntabilitas, yaitu kewajiban untuk bertanggung jawab atas berbagai kegiatan penyelenggaraan kebijaksanaan pemerintahan dan pembangunan (World Bank 1994 dalam Sundarso, 2007:9.22). Akuntabilitas dapat disimpulkan sebagai kewajiban seseorang atau unit organisasi  untuk mempertanggungjawabkan pengelolaan dan pengendalian sumber daya dan pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan  kepadanya dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan melalui media pertanggungjawaban secara periodik (LAN, 2000:23). Menurut Mardiasmo  (2002) bahwa Akuntabilitas adalah prinsip pertanggungjawaban publik yang berarti bahwa proses penganggaran mulai dari perencanaan, penyusunan dan pelaksanaan harus benar-benar dapat dilaporkan dan dipertanggungjawabkan kepada DPRD dan masyarakat. Akuntabilitas mensyaratkan bahwa pengambil keputusan berperilaku sesuai dengan mandat yang diterimanya. Untuk ini, perumusan kebijakan, bersama-sama dengan cara dan hasil kebijakan tersebut harus dapat diakses dan dikomunikasikan secara vertikal maupun horizontal dengan baik.
Lebih lanjut Mardiasmo (2002) menjelaskan sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, tantangan yang dihadapi akuntansi sektor publik adalah menyediakan informasi yang dapat digunakan untuk memonitor akuntabilitas pemerintah daerah yang meliputi akuntabilitas finansial (financial accountability), akuntabilitas manajerial (managerial accountability), akuntabilitas hukum (legal accountability), akuntabilitas politik (political accountability), dan akuntabilitas kebijakan (policy accountability).
Lalu apakah masyarakat dengan mudah percaya begitu saja tentang laporan keuangan sebagai salah satu bentuk pelaksanaan akuntabilitas kepada publik?  Ada indikasi bahwa penyimpangan dana publik lebih gampang dilakukan oleh pejabat daerah, karena pertanggung jawabannya hanya pada DPRD. Menurut Andrinof A.Chaniago seorang peneliti The Habibie Center seperti dikutip oleh Oktarini (2004) bahwa salah satu akibat meningkatnya kekuasaan legislatif maupun eksekutif di daerah, karena dalam UU No. 32/2004 tentang pemerintah daerah, dewan memiliki hak besar untuk mengatur anggaran. Tapi, undang-undang tersebut tidak mengatur mekanisme pertanggungjawaban yang transparan kepada publik. Tidak heran jika wewenang yang besar itu justru melahirkan penyimpangan, yaitu mengalirkan dana negara ke kantong pribadi. Dan lebih parahnya, upaya memperkaya diri itu dilakukan secara massal.
Lebih lanjut menurut Oktarini (2004) yang meminjam istilah Teten Masduki, Koordinator Indonesia Corruption Watch, korupsi di tingkat daerah merupakan bentuk kerjasama yang manis antara kekuasaan politik di daerah, dengan kelompok kepentingan tertentu, sehingga menghasilkan koruptor-koruptor daerah yang diktaktor. Selain masalah transparansi yang sering dituduhkan pada penyelenggaraan program-program yang dilaksanakan oleh pemerintah, kritik yang banyak dilontarkan juga dalam program-program social seperti penanggulangan kemiskinan.  Dalam penentuan sasaran, yaitu penduduk yang benar-benar miskin dan membutuhkan bantuan. Data  penduduk miskin yang tepat dan akurat, sangat menentukan tepat tidaknya sasaran dan keberhasilan suatu program. Sulit untuk dapat mengukur kinerja suatu pemerintah daerah dikaitkan dengan pelaksanaan program-program penanggulangan kemiskinan. Salah satu sebabnya adalah selain tidak dan belum adanya kesamaan persepsi dari dinas-dinas di pemerintah daerah juga dipengaruhi oleh peranan pemerintah pusat yang masih sangat besar (Mubyarto, 2002). Padahal salah satu tujuan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka.
Mubyarto (2002) menjelaskan bahwa salah satu tujuan diberlakukannya otonomi daerah adalah untuk meningkatkan partisipasi rakyat dalam pengambilan keputusan tentang hal-hal yang menyangkut diri mereka. Kewenangan yang lebih besar diberikan kepada pemerintah propinsi, kabupaten maupun desa, agar lembaga-lembaga ini lebih kreatif menyusun berbagai program pembangunan daerah sesuai potensi daerahnya masing-masing. Asumsi yang mendasari adalah bahwa pemerintah di daerah lebih mengetahui potensi dan aspirasi yang dimiliki daerahnya. Dengan kedekatan ini diharapkan produk kebijaksanaan yang dihasilkan sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi rakyat setempat. Seiring dengan jiwa dan semangat otonomi daerah, dan kenyataan bahwa daerah lebih mengetahui potensi daerahnya masing-masing.

Kesimpulan

Pemerintahan yang baik dan bertanggung jawab adalah pemerintahan yang mampu menyelenggarakan pemerintahan daerah dengan menjunjung tinggi aspirasi atau kehendak rakyat yang positif, serta mempertanggungjawabkan segala pekerjaan, terutama (penggunaan keuangan daerah) kepada publik dengan transparan, jujur dan adil. Dengan demikian keberadaan dan kelangsungan pemerintahan yang baik mengisyaratkan akan diayomi atau dipercaya oleh masyarakat, karena kinerjanya yang baik. Pelayanan publik yang diharapkan yaitu birokrasi yang sepenuhnya mendedikasikan diri untuk memenuhi kebutuhan rakyat sebagai pengguna jasa adalah pelayanan publik yang ideal, mudah, cepat dan tepat waktu.
Prinsip-prinsip yang mendasari pengelolaan keuangan daerah tersebut harus senantiasa dipegang teguh dan dilaksanakan oleh penyelenggara pemerintahan, karena pada dasarnya publik memiliki hak dasar terhadap pemerintah, untuk mengetahui segala aktivitas dan tanggung jawab yang dilakukan oleh pemerintah daerah.
Dengan adanya Otonomi daerah diharapkan dapat meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan akuntabilitas sektor publik. Daerah dapat mencari alternatif sumber pembiayaan pembangunan tanpa mengurangi harapan masih adanya bantuan dari Pemerintah Pusat serta menggunakan dana publik sesuai dengan prioritas dan aspirasi masyarakat setempat.


DAFTAR PUSTAKA

Chalid. P. 2007. Teori Dan Isu Pembangunan. Universitas Terbuka. Jakarta.

Lembaga Administrasi Negara (LAN). 2000. Akuntabilitas Dan Good Governance . LAN Dan BPKP. Jakarta.

Mardiasmo. Drs. MBA. 2002. Otonomi Daerah Sebagai Upaya Memperkokoh Basis Perekonomian Daerah. Makalah. 7 Mei 2002.

Mubyarto. DR. Prof. 2002. Penanggulangan Kemiskinan Di Jawa Tengah Dalam Era Otonomi Daerah. Makalah. 28 Oktober 2002.

Oktarini. F. 2004. Desentralisasi Korupsi Melalui Otonomi Daerah. Tempo. 4 Nopember 2004.

PP No. 84 Tahun 2000. Pedoman Organisasi Perangkat Daerah. Presiden RI. Jakarta

Sundarso, dkk,. 2007. Teori Administrasi. Universitas Terbuka. Jakarta.

UU No. 5 Tahun 1974. Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. DPR RI. Jakarta

---- No. 22 Tahun 1999. Tentang Pemerintahan Daerah. DPR RI. Jakarta.

Kemiskinan

”KEMISKINAN”
Takdir Atau Korban Kekuasaan




Oleh: Atanasius

Pendahuluan

Beberapa tahun lalu terjadi kasus busung lapar dan gizi buruk di beberapa daerah di tanah air, sehingga kita perlu mewaspadai peristiwa yang cukup memprihatinkan itu agar tidak terjadi ditahun-tahun yang akan datang. Banyak pendapat yang dilontarkan seputar penyebab busung lapar tersebut, seperti kurang gizi dan pangan, kemiskinan serta sanitasi lingkungan yang kurang memadai. Benarkah penyebab busung lapar itu karena kemiskinan? Tapi yang jelas penyebab sakit busung lapar itu karena kekurangan makan. Lalu mengapa bisa kurang makan, jawabannya tidak ada lahan untuk berusahatani dan tidak mampu membeli kebutuhan pangan karena keterbatasan biaya.
Menurut Sahdan. G 2005 bahwa kemiskinan telah membatasi hak rakyat untuk (1) memperoleh pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan; (2) Hak rakyat untuk memperoleh perlindungan hukum; (3) Hak rakyat untuk memperoleh rasa aman; (4) Hak rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan hidup (sandang, pangan, dan papan) yang terjangkau; (5) Hak rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan pendidikan; (6) Hak rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan kesehatan; (7) Hak rakyat untuk memperoleh keadilan; (8) Hak rakyat untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan publik dan pemerintahan; (9) Hak rakyat  untuk berinovasi; (10) Hak rakyat menjalankan hubungan spiritualnya dengan Tuhan; dan (11) Hak rakyat untuk berpartisipasi dalam menata dan mengelola pemerintahan dengan baik.
Lebih lanjut Sahdan G. 2005 menjelaskan kemiskinan telah membuat jutaan anak-anak tidak bisa mengenyam pendidikan yang berkualitas, kesulitan membiayai kesehatan, kurangnya tabungan dan tidak adanya investasi, kurangnya akses ke pelayanan publik, kurangnya lapangan pekerjaan, kurangnya jaminan sosial dan perlindungan terhadap keluarga, menguatnya arus urbanisasi ke kota, dan yang lebih parah, kemiskinan menyebabkan jutaan rakyat memenuhi kebutuhan pangan, sandang dan papan secara terbatas. Kemiskinan, menyebabkan masyarakat desa rela mengorbankan apa saja demi keselamatan hidup. Penyebaran kemiskinan lain adalah karakteristik demografis, karakteristik pekerjaan, sumber penghasilan, dan pola konsumsi penduduk miskin (Budi. S, 2005).
Bank Dunia (2003) dalam Sahdan (2005), mengatakan penyebab dasar kemiskinan adalah: (1) kegagalan kepemilikan terutama tanah dan modal; (2) terbatasnya ketersediaan bahan kebutuhan dasar, sarana dan prasarana; (3) kebijakan pembangunan yang bias perkotaan dan bias sektor; (4) adanya perbedaan kesempatan di antara anggota masyarakat dan sistem yang kurang mendukung; (5) adanya perbedaan sumber daya manusia dan perbedaan antara sektor ekonomi (ekonomi tradisional versus ekonomi modern); (6) rendahnya produktivitas dan tingkat pembentukan modal dalam masyarakat; (7) budaya hidup yang dikaitkan dengan kemampuan seseorang mengelola sumber daya alam dan lingkunganya; (8) tidak adanya tata pemerintahan yang bersih dan baik (good governance); (9) pengelolaan sumber daya alam yang berlebihan dan tidak berwawasan lingkungan. 
Menurut Mawardi (2006) pada awalnya faktor penyebab kemiskinan dipandang sebagai persoalan independen yang lebih banyak dipengaruhi oleh sikap individual, aspek budaya, dan pada batas tertentu juga dianggap sebagai ketidakberuntungan seseorang. Secara garis besar, faktor penyebab kemiskinan yang dikemukakan oleh orang miskin sendiri dapat dikelompokkan menjadi enam kategori, yaitu: ketidakberdayaan, keterkucilan, kekurangan materi, kelemahan fisik, kerentanan, dan sikap atau perilaku.
Lebih lanjut menurut Mawardi. (2006) kategori faktor ketidakberdayaan meliputi faktor yang keberadaannya di luar kendali masyarakat miskin. Antara lain mencakup aspek ketersediaan lapangan kerja, tingkat biaya/harga (baik barang konsumsi, sarana produksi, maupun harga jual produksi), kebijakan pemerintah, sistem adat, lilitan hutang, keamanan, dan takdir/kodrat. Faktor yang digolongkan dalam kelompok ini berupa kebiasaan buruk atau sikap yang cenderung menyebabkan turunnya tingkat kesejahteraan atau menghambat kemajuan. Antara lain meliputi kurangnya upaya untuk bekerja, tidak bisa mengatur uang atau boros, masalah ketidakharmonisan keluarga, serta kebiasaan berjudi dan mabuk-mabukan. Satu hal yang perlu digarisbawahi, masing-masing faktor penyebab kemiskinan tersebut tidak berdiri sendiri. Satu sama lain saling terkait dan merupakan rangkaian sebab-akibat.
Kemiskinan terus menjadi masalah fenomenal sepanjang sejarah Indonesia sebagai nation state, sejarah sebuah negara yang salah memandang dan mengurus kemiskinan (Sahdan 2005). Sejak jaman kemerdekaan sampai sekarang telah dilakukan berbagai upaya pengentasan kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah, diantaranya bantuan pendidikan, kesehatan, IDT, Raskin dan bantuan social lainnya, naman rakyat masih saja tetap miskin. Berangkat dari kenyataan ini, maka Makalah ini ingin melihat bagaimana cara yang paling baik dan efektif yang dilakukan oleh pemerintah dalam pengentasan kemiskinan.


Kemiskinan, Penyebab Dan Akibatnya
Menurut Chalid (2007:6.3-6.4) bahwa kemiskinan yang terjadi di Indonesia secara konseptual terbagi dalam tiga kategori, yaitu (1) Kemiskinan alamiah, kemiskinan yang timbul sebagai akibat sumber daya yang langka jumlahnya atau karena tingkat perkembangan teknologi yang rendah. (2) Kemiskinan Struktural, kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat karena struktur sosial, sehingga mereka tidak dapat menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. (3) Kemiskinan Kultral, kemiskinan yang muncul karena tuntutan tradisi atau adat yang membebani ekonomi masyarakat, seperti perkawinan, kematian dan adat lainnya termasuk mentalitas penduduk yang lamban, malas, konsumtif serta kurang orientasi ke depan.
BAPPENAS (2004) dalam Sahdan (2005) mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar masyarakat desa antara lain, terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakukan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, bagi perempuan maupun laki-laki.
Anand dan Kanbur (1993) dalam Budi (2005) mengusulkan pola pengukuran kemiskinan dengan memasukan variabel variabel non keuangan (non financial variables), seperti kemudahan mendapatkan pendidikan yang murah, fasilitas kesehatan yang luas dan murah, kesempatan kerja yang tinggi, angka kematian balita dan ibu yang melahirkan, tingkat kemungkinan hidup, sistem perumahan dan sarana kesehatan umum, listrik dan lain lain.
Lebih lanjut menurut Budi. (2005) kajian utama didasarkan pada ukuran pendapatan (ukuran finansial), dimana batas kemiskinan dihitung dari besarnya rupiah yang dibelanjakan per kapita sebulan untuk memenuhi kebutuhan minimum makanan dan bukan makanan. Untuk kebutuhan makanan digunakan patokan 2100 kalori perhari. Sedangkan pengeluaran kebutuhan minimum bukan makanan meliputi pengeluaran untuk perumahan, sandang, serta aneka barang dan jasa.
Sahdan (2005) menjelaskan bahwa dari berbagai definisi tersebut di atas, maka indikator utama kemiskinan adalah; (1) terbatasnya kecukupan dan mutu pangan; (2) terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan; (3) terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan; (4) terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha; (5) lemahnya perlindungan terhadap aset usaha, dan perbedaan upah; (6) terbatasnya akses layanan perumahan dan sanitasi; (7) terbatasnya akses terhadap air bersih; (8) lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah; (9) memburuknya kondisi lingkungan hidup dan sumberdaya alam, serta terbatasnya akses masyarakat terhadap sumber daya alam; (10) lemahnya jaminan rasa aman; (11) lemahnya partisipasi; (12) besarnya beban kependudukan yang disebabkan oleh besarnya tanggungan keluarga; (13) tata kelola pemerintahan yang buruk yang menyebabkan inefisiensi dan inefektivitas dalam pelayanan publik, meluasnya korupsi dan rendahnya jaminan sosial terhadap masyarakat. Lebih lanjut menurut Sahdan. (2005) Konsep tentang kemiskinan sangat beragam, mulai dari sekedar ketidak-mampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar dan memperbaiki keadaan, kurangnya kesempatan berusaha, hingga pengertian yang lebih luas yang memasukkan aspek sosial dan moral.

Pengentasan Kemiskinan
Sahdan. G, 2005 mengatakan selama tiga dekade, upaya penanggulangan kemiskinan dilakukan dengan penyediaan kebutuhan dasar seperti pangan, pelayanan kesehatan dan pendidikan, perluasan kesempatan kerja, pembangunan pertanian, pemberian dana bergulir melalui sistem kredit, pembangunan prasarana dan pendampingan, penyuluhan sanitasi dan sebagainya. Dari serangkaian cara dan strategi penanggulangan kemiskinan tersebut, semuanya berorentasi material, sehingga keberlanjutannya sangat tergantung pada ketersediaan anggaran dan komitmen pemerintah.
Siaran Pers Menkoekuin RI, 27 Maret 2003 seperti yang dikutip Sulekale akar kemiskinan di Indonesia tidak hanya harus dicari dalam budaya malas bekerja keras. Keseluruhan situasi yang menyebabkan seseorang tidak dapat melaksanakan kegiatan produktifnya secara penuh harus diperhitungkan. Faktor-faktor kemiskinan adalah gabungan antara faktor internal dan faktor eksternal. Kebijakan pembangunan yang keliru termasuk dalam faktor eksternal. Korupsi yang menyebabkan berkurangnya alokasi anggaran untuk suatu kegiatan pembangunan bagi kesejahteraan masyarakat miskin juga termasuk faktor eksternal.  
Sementara itu, keterbatasan wawasan, kurangnya ketrampilan, kesehatan yang buruk, serta etos kerja yang rendah,  semuanya merupakan faktor internal.  Faktor-faktor internal dapat dipicu munculnya oleh faktor-faktor eksternal juga. Kesehatan masyarakat yang buruk adalah pertanda rendahnya gizi masyarakat. Rendahnya gizi masyarakat adalah akibat dari rendahnya pendapatan dan terbatasnya sumber daya alam. Selanjutnya, rendahnya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) adalah akibat dari kurangnya pendidikan. Hal yang terakhir ini juga pada gilirannya merupakan akibat dari kurangnya pendapatan. Kurangnya pendapatan merupakan akibat langsung dari keterbatasan lapangan kerja. Dan seterusnya begitu, berputar-putar dalam proses saling terkait.
Sulekale (2003) menjelaskan upaya-upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia telah dilakukan sejak awal kemerdekaan. Misalnya, di bidang pendidikan, pemerintah melancarkan pemberantasan buta huruf tak terbatas di sekolah formal saja, namun juga secara non-formal. Di era Bung Karno, anak-anak usia sekolah bahkan “dikejar” agar mau masuk sekolah. Di era Pak Harto, dicanangkan wajib belajar sembilan tahun, dan hasilnya luar biasa. Hal ini ditunjukkan pada peningkatan peserta pendidikan dasar dari 62 persen anak-anak pada tahun 1973 menjadi lebih dari 90 persen pada tahun 1983. Namun, sampai saat ini tingkat buta huruf dilaporkan masih cukup tinggi di Indonesia, yaitu meliputi sekitar 5,9 juta orang yang berumur antara 10-44 tahun.
Di bidang kesehatan, pemerintah meluncurkan berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia dan memperkenalkan sistem santunan sosial. Di era Orde Baru, sejak 1970-an, dikenalkan pusat pelayanan kesehatan di tingkat kecamatan (Puskesmas) agar lebih mudah terjangkau oleh masyarakat desa. Belakangan dibentuk Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) di setiap desa. Pada awal 1990-an pembangunan pusat kesehatan masyarakat meningkat lebih tinggi daripada rumah sakit.  Penempatan bidan di desa yang mendidik kader-kader dari kalangan penduduk desa sendiri, dan mendampingi kader dalam kegiatan rutin posyandu, menunjukkan upaya-upaya pemberdayaan masyarakat. Kaderisasi semacam ini meningkatkan peluang keberlanjutan program yang berkaitan dengan penanggulangan kemiskinan. Program Keluarga Berencana juga merupakan program strategis untuk mengurangi tingkat kemiskinan keluarga.
Melalui program transmigrasi, penduduk miskin dari daerah padat diberi peluang yang lebih baik untuk meningkatkan kesejahteraan ekonominya. Pembukaan dan pengembangan tanah pertanian baru diharapkan dapat meningkatkan kesempatan kerja. Lebih lanjut menurut Sulekale (2003) dalam rangka penanggulangan kemiskinan pula diluncurkan berbagai Inpres, seperti Inpres Kesehatan, Inpres Perhubungan, Inpres Pasar, Bangdes, dan yang agak belakangan namun cukup terkenal adalah Inpres Desa Tertinggal (IDT). Dapat dicatat juga program-program pemberdayaan lainnya seperti Program Pembinaan dan Peningkatan Pendapatan Petani dan Nelayan Kecil (P4K), Program Tabungan dan Kredit Usaha Kesejahteraan Rakyat  (Takesra-Kukesra), Program Pengembangan Kecamatan (PPK), Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP), Program Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal (P3DT), dan seterusnya.
Menurut Dillon (2001) setelah terjadi pergantian rejim dari Orde Baru ke Orde Reformasi, kemampuan masyarakat dan pemerintah untuk segera dapat mengatasi akibat-akibat krisis multi-dimensi tidak segera dapat bangkit lagi karena adanya tekanan-tekanan situasi dalam dan luar negeri. Namun, suasana pembangunan sudah sangat berubah. Partisipasi masyarakat dalam berbagai matra kehidupan, khususnya di bidang politik, meningkat tajam.
Pemerintah harus menyadari bahwa pendekatan yang top-down dan sentralistik dalam pengambilan keputusan tidak dapat menghasilkan percepatan pembangunan yang sekaligus memadukan antara pertumbuhan dan pemerataan. Jadi, jalan lebar harus dibuka untuk partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan.
Otonomi Daerah memungkinkan peningkatan penanggulangan kemiskinan karena menghadapi jarak spasial maupun temporal yang lebih dekat dengan penduduk miskin itu sendiri. Selain itu peluang tanggung jawab atas kegiatan tersebut berada di tangan pemerintah di aras kabupaten dan kota, serta pemerintah desa. Melalui perspektif tersebut otonomi berkaitan dengan upaya menggerakkan demokratisasi. Demokrasi didasarkan pada prinsip kedaulatan rakyat yang mengandung pengertian bahwa semua manusia pada dasarnya memiliki kebebasan dan hak serta kewajiban yang sama. Di sini demokrasi lebih menekankan pada partisipasi dan artikulasi kepentingan rakyat dalam keputusan-keputusan publik.
Ke depan, masih diperlukan upaya dialog yang mempertemukan aparat Pemda, masyarakat, swasta serta pihak lain yang berminat menanggulangi kemiskinan. Keberhasilan aparat Pemda dalam belajar menerapkan asas-asas pembangunan partisipatif akan membuka peluang yang besar dalam pemberdayaan rakyat. Indikator penting dalam melihat tanda-tanda keberlanjutan keberdayaan ialah terbukanya akses-akses sumberdaya di daerah yang mendukung pola nafkah penduduk miskin secara berkelanjutan.
Lebih lanjut Dillon (2001) menjelaskan upaya penanggulangan kemiskinan yang paling strategis dalam era otonomi daerah dapat dirumuskan dalam satu kalimat yaitu berikan peluang kepada keluarga miskin dan komunitasnya untuk mengatasi masalah mereka secara mandiri.  Peningkatan pendapatan merupakan indikator penting untuk menilai keberhasilan program bagi penduduk miskin (Santosa, dkk 2006). Inti pemecahan masalah kemiskinan adalah tersedianya lapangan kerja dan hal ini dapat diwujudkan jika sektor industri, pertanian dan pembangunan berjalan lancar (Khomsan,  2006).


Kesimpulan
Pengamat masalah kemiskinan HS Dillon, mengatakan bahwa strategi pertumbuhan ekonomi yang cepat yang tidak dibarengi pemerataan merupakan kesalahan besar yang dilakukan para pemimpin negara-negara sedang berkembang, termasuk Indonesia. Penyebab kemiskinan di Indonesia bukanlah kurangnya sumber daya alam, melainkan karena faktor non-alamiah, yaitu kesalahan dalam kebijakan ekonomi. Berdasarkan uraian-uraian diatas maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1.      Untuk mempercepat penanggulangan kemiskinan dapat dilakukan dengan pemberdayaan masyarakat bersifat partisipatif dan harus berpihak pada masyarakat miskin, dengan bertumpu pada kekuatan dan sumber-sumber daya lokal serta penanggulangan kemiskinan harus berbasis pada komunitas dan keluarga miskin.
2.      Penyediaan lapangan kerja menjadi tanggung jawab berbagai sektor, seperti sektor pertanian, perindustrian, dan perdagangan. Sektor inilah yang diharapkan menggerakkan ekonomi masyarakat dan memberikan kontribusi pendapatan pada setiap keluarga miskin.
3.      Penanggulangan kemiskinan tidak dapat bersifat parsial, melainkan harus terpadu menurut kondisi spesifik kemiskinan di masing-masing daerah/komunitas.
4.      Mengingat keterbatasan kemampuan financial dan kapasitas kelembagaan pemerintah dan nonpemerintah, maka pengentasan kemiskinan perlu bertahap atau bergilir disetiap daerah berdasarkan skala prioritas, dengan demikian dapat lebih focus dan sasaran yang dicapai dapat maksimal.


DAFTAR PUSTAKA

Awan Santosa, dkk,. 2006. Program Penanggulangan Kemiskinan Bersasaran di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Makalah Penelitian.

Budi. S. 2005. Gambaran Kemiskinan Indonesia. Artikel 22 Januari 2005
Chakid. P. 2007. Teori Dan Isu Pembangunan. Universitas Terbuka. Jakarta.

HS. Dillon. 2001. Paradigma Ekonomi yang Pro Kaum Miskin Dan Pro Keadilan. Belajar Dari Kemiskinan Masa Lalu. Juni 2001.

Khomsan. A. 2006. Pengentasan Kemiskinan, Kail atau Ikan. Artikel.

Mawardi. S. 2006. Penyebab Kemiskinan Menurut Orang Miskin. Artikel.

Sahdan. G. 2005. Menanggulangi Kemiskinan Desa. Artikel Ekonomi Rakyat Dan Kemiskinan. Maret 2005.

Sulekale. D. D. 2003. Pemberdayaan Masyarakat Miskin Diera Otonomi Daerah. Siaran Pers Menkoekoin RI, 27 Maret 2003.

Pemberdayaan Petani

“PEMBERDAYAAN PETANI”
Berbasis Sumber Daya Lokal Yang Partisipatif



Oleh: Atanasius

Pendahuluan

Dewasa ini sumberdaya alam dan lingkungan telah menjadi barang langka akibat tingkat ekstraksi yang berlebihan (over-exploitation) dan kurang memperhatikan aspek keberlanjutan. Kendati secara ekonomi dapat meningkatkan nilai jual, namun di sisi lain biasnya menimbulkan ancaman kerugian ekologi yang jauh lebih besar akibat keseimbangan alam terganggu akhirnya menimbulkan bencana banjir, tanah longsor, dan hama belalang kumbara yang merusak tanaman pangan. Kegagalan pengelolaan SDA dan lingkungan hidup akibat dari keserakahan manusia dalam mengambil hasil alam.
Isu pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan masyarakat desa pada era globalisasi dan transparansi semakin banyak dibicarakan dalam forum-forum diskusi yang dilakukan pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, nasional dan international, dan melalui artikel-artikel dalam media massa. Pola pemberdayaan masyarakat yang dibutuhkan bukan kegiatan yang sifatnya top-down intervention yang tidak menjunjung tinggi aspirasi dan potensi masyarakat untuk melakukan kegiatan swadaya. Akan tetapi yang paling dibutuhkan masyarakat lapisan bawah terutama yang tinggal di desa adalah pola pemberdayaan yang sifatnya bottom-up intervention yang menghargai dan mengakui bahwa masyarakat lapisan bawah memiliki potensi untuk memenuhi kebutuhannya, memecahkan permasalahannya, serta mampu melakukan usaha-usaha produktif dengan prinsip swadaya dan kebersamaan.
Perserikatan Bangsa-Bangsa menjelaskan bahwa pembangunan masyarakat, merupakan suatu proses dimana usaha-usaha atau potensi-potensi yang dimiliki masyarakat diintegrasikan untuk memperbaiki kondisi ekonomi, sosial, dan kebudayaan, dan mengintegrasikan masyarakat di dalam konteks kehidupan berbangsa, serta memberdayakan mereka agar mampu memberikan kontribusi secara penuh untuk mencapai kemajuan pada level nasional. Definisi ini lebih menekankan bahwa konsep pembangunan masyarakat, merupakan suatu proses aksi sosial dimana masyarakat mengorganiser diri mereka dalam merencanakan yang akan dikerjakan, merumuskan masalah dan kebutuhan-kebutuhan baik untuk kepentingan individu maupun untuk kepentingan bersama, membuat rencana-rencana tersebut didasarkan atas kepercayaan yang tinggi terhadap sumber-sumber yang dimiliki masyarakat.
Carter (1996) mendefinisikan berbasis sumber daya sebagai suatu strategi untuk mencapai pembangunan yang berpusat pada manusia, dimana pusat pengambilan keputusan mengenai pemanfaatan sumberdaya dan lingkungan secara berkelanjutan di suatu daerah terletak/berada di tangan organisasi-organisasi dalam masyarakat di daerah tersebut. Definisi Pengelolaan Berbasis Masyarakat (PBM) berdasarkan Petunjuk Pelaksanaan Pengelolaan Berbasis Masyarakat (COREMAP-LIPI, 1997) adalah sistem pengelolaan sumberdaya terpadu yang perumusan dan perencanaannya dilakukan dengan pendekatan dari bawah (bottom up approach) berdasarkan aspirasi masyarakat dan dilaksanakan untuk kepentingan masyarakat.
Sedangkan Nikijuluw (2002) mendefinisikan Pengelolaan Berbasis Masyarakat (PBM) sebagai suatu proses pemberian wewenang, tanggung jawab dan kesempatan kepada masyarakat untuk mengelola sumberdayanya  sendiri dengan terlebih dahulu mendefinisikan kebutuhan dan keinginan, tujuan serta aspirasinya. Lebih lanjut Nikijuluw (2002) mengemukakan bahwa PBM menyangkut pula pemberian tanggung jawab kepada masyarakat sehingga mereka dapat mengambil keputusan yang pada akhirnya menentukan dan berpengaruh pada kesejahteraan hidup mereka. Jadi, dapat disimpulkan bahwa pengelolaan yang berbasis masyarakat (PBM/CBM) adalah suatu sistem pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan di suatu tempat dimana masyarakat lokal tersebut terlibat secara aktif dalam proses pengelolaan sumberdaya alam yang terkandung didalamnya. Pengelolaan di sini meliputi berbagai dimensi seperti perencanaan, pelaksanaan, serta pemanfaatan hasil-hasilnya.
Pengelolaan Sumberdaya Berbasis Masyarakat (PSBM) merupakan salah satu alternatif atau pilihan dalam pengelolaan sumberdaya yang saat ini sedang mengalami keterpurukan, sebagai akibat akumulasi dari kesalahan pengurusan dimasa lalu. Menurut Dudung Darusman (2000) Berbasis Masyarakat mengandung arti bahwa masyarakat dengan segala kemampuan yang ada mengatur pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup mereka. Kata basis itu sendiri mengandung makna “alas atau dasar”, sehingga “berbasis masyarakat” dalam pengelolaan sumberdaya mempunyai makna yang lebih mendalam dari hanya sekedar mewujudkan penyediaan hasil bagi masyarakat atau melibatkan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam, melainkan menempatkan masyarakat sebagai aktor utama pengelolaan sumber daya alam.
Mengapa “Berbasis Masyarakat”? Suatu strategi kunci dalam melihat permasalahan yang saling terkait antara kemiskinan daerah pedesaan, degradasi lingkungan dan pemerintahan yang demokratis. Ada suatu keyakinan bahwa cara terbaik dalam mengatasi tantangan ini adalah dengan mendorong inisiatif-inisiatif dari mereka yang tinggal dan bekerja paling dekat dengan dimana masalah tersebut berada. Selain itu, alasan atau asumsinya adalah apabila masyarakat lokal diberi peran dalam hal ketersediaan sumber daya di masa datang, mereka akan ikut melindunginya.
Pada banyak tempat selain Indonesia, alasan memilih metode pengelolaan berbasis masyarakat adalah: (a) kurangnya ‘keampuhan” dan ketidakberlanjutan secara ekonomi daripada metode ‘konservasi yang mengesampingkan’ masyarakat yang diwariskan dari masa kolonial; (b) pentingnya melindungi sumber daya alam dimana populasi masyarakat yang tinggal disekitarnya berada dalam proporsi besar; (c) kebutuhan untuk menyediakan insentif ekonomi kepada masyarakat lokal sehingga mereka dapat menggunakan sumber daya dengan berkelanjutan; (d) kelangsungan pengelolaan hak milik bersama; (e) adanya bukti-bukti kemanjuran pendekatan “bottom-up’ terhadap pembangunan daerah pedesaan; dan (f) pentingnya menyediakan ganti rugi terhadap ketidakadilan akibat pemindahan secara paksa saat dibentuknya wilayah yang dilindungi.
Partisipatif merupakan proses aktif yang inisiatifnya dilakukan oleh masyarakat sendiri dan dibimbing oleh cara berfikir mereka sendiri dengan menggunakan sarana dan proses (lembaga dan mekanisme) yang dapat menegakkan proses pengawasan secara efektif. Partisipatif adalah terwujudnya kemandirian masyarakat, yakni masyarakat yang mampu memecahkan masalah mereka sendiri. Hal ini tidak terbatas pada aspek ekonomi semata, tetapi juga terkait dengan rasa keadilan, jaminan keamanan, peluang memperoleh pendidikan, peluang berusaha, dan berbagai kemudahan untuk kelangsungan peningkatan taraf hidup berdasarkan aspirasi masyarakat (bottom-up).
Berdasarkan uraian uraian di atas, maka berbasis sumber daya local dapat diartikan sebagai pemanfaatan sumber daya setempat, baik manusia dan alamnya. Dengan partisipatif berarti melibatkan masyarakat setempat untuk merencanakan, melaksanakan dan meevaluasi sumber daya yang ada dengan mempertahankan keseimbangan ekosistem yang ada dengan berlandaskan tatanan nilai-nilai budaya yang luhur, yang telah ada semenjak masyarakat local itu ada. Peran serta masyarakat dalam pengelolaan ini lebih dikenal dengan istilah pengelolaan berbasis masyarakat (PBM) atau community based management (CBM). Pengelolaan sumber daya berbasis masyarakat adalah pilihan bagi keberlanjutan pembangunan yang adil dan bijaksana. Dengan demikian sumber daya local betul-betul telah diberdayakan. Dengan pemberdayaan (Empowerment) berarti memberikan motivasi dan dorongan kepada masyarakat agar menggali potensi yang ada untuk ditingkatkan kualitasnya.


On Farm yang berpihak pada petani 

On farm hampir sama pengertiannya dengan usahatani. Farm, yaitu sebagai sutu tempat atau bagian dari permukaan bumi dimana pertanian diselenggarakan oleh seorang petani tertentu apakah ia seorang pemilik, penyakap ataupun petani yang digaji. Usahatani adalah himpunan dari sumber-sumber alam yang terdapat di tempat itu yang diperlukan untuk produksi pertanian seperti tubuh tanah dan air, perbaikan-perbaikan yang telah dilakukan atas tanah itu, sinar matahari dan bangunan yang didirikan di atas lahan tersebut.
Tujuan usahatani yaitu bagaimana petani dapat meningkatkan hasil sehingga kehidupan seluruh keluarganya menjadi lebih baik. Untuk mencapai tujuan ini petani selalu memperhitungkan untung ruginya walau tidak secara tertulis. Dalam ilmu ekonomi dikatakan bahwa petani membandingkan antara hasil yang diharapkan akan diterima pada waktu panen (penerimaan, revenue) dengan biaya (pengorbanan, cost) yang harus dikeluarkan. Hasil yang diperoleh petani pada saat panen disebut produksi, dan biaya yang dikeluarkan disebut biaya produksi. Agar tujuan usahatani tercapai maka usahataninya harus produktif dan efisien. Produktif artinya usahatani itu produktifitasnya tinggi. Produktivsitas secara teknis adalah perkalian antara efisiensi (usaha) dan kapasitas (tanah). Efisiensi fisik mengukur banyaknya hasil produksi (output) yang dapat diperoleh dari satu kesatuan input. Kapasitas tanah menggambarkan kemampuan tanah itu menyerap tenaga dan modal sehingga memberikan hasil produksi bruto yang sebesar-besarnya pada tingkat tehnologi tertentu.


Menghargai budaya Spesifik Local

Spesifik dapat diartikan sebagai yang “khusus” dan local adalah setempat atau bukan berasal dari daerah lain. Spesifik local hampir identik dengan Kearifan Lokal. Local secara spesifik menunjuk pada ruang interaksi terbatas dengan sistem nilai yang terbatas pula. Sebagai ruang interaksi yang sudah didesain sedemikian rupa yang di dalamnya melibatkan suatu pola-pola hubungan antara manusia dengan manusia atau manusia dengan lingkungan fisiknya. Pola interaksi yang sudah terdesain dapat menyusun hubungan-hubungan dalam lingkungannya, yang sudah terbentuk secara langsung akan memproduksi nilai-nilai yang akan menjadi landasan hubungan mereka atau menjadi acuan tingkah-laku mereka.
Kearifan lokal atau sering disebut local wisdom dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu. Pengertian di atas, disusun secara etimologi, di mana wisdom dipahami sebagai kemampuan seseorang dalam menggunakan akal pikirannya dalam bertindak atau bersikap sebagai hasil penilaian terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi. Sebagai sebuah istilah wisdom sering diartikan sebagai kearifan atau kebijaksanaan.
Kearifan lokal merupakan pengetahuan yang eksplisit yang muncul dari periode panjang yang berevolusi bersama-sama masyarakat dan lingkungannya dalam sistem lokal yang sudah dialami bersama-sama.  Proses evolusi yang begitu panjang dan melekat dalam masyarakat dapat menjadikan kearifan lokal sebagai sumber energi potensial dari sistem pengetahuan kolektif masyarakat untuk hidup bersama secara dinamis dan damai. Pengertian ini melihat kearifan lokal tidak sekadar sebagai acuan tingkah-laku seseorang, tetapi lebih jauh, yaitu mampu mendinamisasi kehidupan masyarakat yang penuh keadaban.
Secara substansial, kearifan lokal itu adalah nilai-nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat. Nilai-nilai yang diyakini kebenarannya dan menjadi acuan dalam bertingkah-laku sehari-hari masyarakat setempat. Oleh karena itu, sangat beralasan jika Greertz mengatakan bahwa kearifan lokal merupakan identitas yang sangat menentukan harkat dan martabat manusia dalam komunitasnya. Hal itu berarti kearifan lokal yang di dalamnya berisi unsur kecerdasan kreativitas dan pengetahuan lokal dari para elit dan masyarakatnya adalah yang menentukan dalam pembangunan peradaban masyarakatnya.
Kearifan lokal biasanya tercermin dalam kebiasaan-kebiasaan hidup masyarakat yang telah berlangsung lama. Keberlangsungan kearifan lokal akan tercermin dalam nilai-nilai yang berlaku dalam kelompok masyarakat tertentu. Nilai-nilai itu menjadi pegangan yang biasanya akan menjadi bagian hidup tak terpisahkan yang dapat diamati melalui sikap dan perilaku mereka sehari-hari. Kearifan lokal merupakan usaha untuk menemukan kebenaran yang didasarkan pada fakta-fakta atau gejala-gejala yang berlaku secara spesifik dalam sebuah budaya masyarakat tertentu. Definisi ini bisa jadi setara dengan definisi mengenai indigenous psychology yang didefinisikan sebagai usaha ilmiah mengenai tingkah-laku atau pikiran manusia yang asli (native) yang tidak ditransformasikan dari luar dan didesain untuk orang dalam budaya tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, maka spesifik local dapat diartikan sebagai pemanfaatan sumber daya local yang dapat dipertahankan dan dikembangkan untuk pelestarian sumber daya yang sangat bermanfaat dengan keseimbangan ekosistem yang saling menguntungkan bagi semua habitat (manusia, hewan dan tumbuhan) yang ada dengan lingkungannya (tanah dan air). Sebagai contoh pelarangan penebangan “pohon tapang”, karena merupakan tempat hidup dan berkembangbiak lebah madu. Di mana madu ini sangat baik untuk bahan obat yang dapat menyembuhkan beberapa penyakit yang diderita oleh manusia. 
Berdasarkan bukti ini, maka paradigma spesifik local terhadap pohon tapang dapat terus dibudidayakan, agar lebah madu tidak musnah dan bahan obat-obatan alami tetap tersedia untuk kesehatan masyarakat setempat. Dengan demikian terjadi simbiosis mutualisma antara masyarakat, lebah dan pohon tapang, sehingga lingkungan (hutan, tanah dan air) tetap terjaga kelestariannya dan tidak akan mudah terjadi bencana banjir bandang dan tanah longsor, karena keseimbangan alam tetap terjaga berkat spesifik local maupun kearifan local.
Contoh lain adalah tanaman pangan seperti tanaman “jawak”, merupakan tanaman yang mengandung karbohidrat sebagai pengganti nasi. Tanaman ini biasa ditanam petani tradisional/local seiring dengan penanaman padi pada bulan Agustus maupun September. Tanaman jawak ini boleh dikatakan langka, namun tetap dibudidayakan oleh petani local, karena dapat dikonsumsi sebagai pengganti nasi pada waktu paceklik. Selain mengandung karbohidrat, tanaman jawak ini sangat enak dimakan sebagai makanan selingan (biasa disebut bubur jawak), oleh sebab itu perlu dipertimbangkan untuk dikembangkan dalam rangka pengembangan tanaman spesifik local dengan skala menengah mengingat selain jawak ini enak, nilai jualnya juga tinggi.


Sentuhan Teknologi UPJA

UPJA merupakan singkatan dari Usaha Pelayanan Jasa Alsintan. Alsintan berarti alat dan mesin pertanian. Apa kaitannya UPJA dengan alsintan ? UPJA merupakan organisasi atau kelompok yang mengelola jasa pelayanan alat dan mesin pertanian tersebut.  Artinya UPJA merupakan jasa pelayanan bagi para petani yang akan menggunakan teknologi semi modern, untuk mendapatkan pekerjaan yang cepat, murah serta tepat waktu. Jenis-jenis alat dan mesin pertanian yang dimaksud di atas seperti mesin pengolah tanah (traktor), mesin perontok padi (power threser), mesin penggiling padi (Rice Milling Unit) dan mesin pengering (Drayer). Dan alat yang biasa digunakan seperti alat penyemprot (Hand Sprayer dan Mist Blower) serta alat pengolah tanah (Bajak dan Rotary).
Tujuan dari UPJA adalah untuk membantu usaha produksi dan pasca panen pertanian, maka dari itu sangat diperlukan sarana dan prasarana yang dapat mendukung terlaksananya proses produksi dan pasca panen yang tepat, cepat dan murah, dengan tingkat kehilangan hasil panen yang sangat minim, sehingga petani dapat mendapatkan keuntungan yang optimal. Salah satunya adalah dengan penggunaan alat dan mesin.


Kesimpulan

Berdasarkan dari pengertian-pengertian dan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pengelolaan dengan berbasis daya local khususnya dengan pemanfaatan sumber daya manusia yang prasipatif akan memberikan dampak yang nyata terhadap pembangunan daerah. Hal ini mengingat karena masyarakat local yang nota bene adalah penduduk miskin diikut sertakan dalam berbagai kegiatan pembangunan, baik perencanaan, pelaksanaan maupun monitoring. Karena permasalahan akan dapat terselesaikan dengan maksimal, jika yang punya kepentingan atau permasalahan diikut sertakan dalam penyelesaiannya.
Partisipatif masyarakat local dalam rangka berusahatani dengan membudidayakan dan mengembangkan tanaman yang spesifik lokal merupakan salah satu indicator keberpihakan pada masyarakat local dalam pelestarian nilai-nilai luhur yang telah dimiliki masyarakat. Penggunaan alat dan mesin pertanian merupakan langkah nyata dalam menunjang keberhasilan usahatani yang dilakukan petani local, dengan tetap memperhatikan keseimbangan alam sehingga terhindar dari bencana banjir maupun tanah longsor yang dapat merugikan usahatani tersebut.
Penerapan usahatani yang berwawasan lingkungan dengan membudidayakan tanaman spesifik local memberikan peluang sekaligus tantangan terhadap terujudnya ketahanan pangan serta terciptanya pertanian yang tangguh dan menguntungkan pengusahanya (petani). Dengan demikian ada harapan peningkatan taraf hidup petani tradisional yang selama ini hanya mengandalkan pertanian subsistem akan mengarah kepada pertanian yang berorientasi bisnis dan industri, di mana hasil usahatani bukan hanya sekedar cukup untuk dimakan, tetapi lebih dari pada itu dan telah mengarah kepada Agribisnis. Semoga.

Referensi : dari berbagai sumber